Rabu, Juni 24, 2009

Jamsostek Intensifkan Sosialisasi

(Suara Karya, Rabu 24 Juni 2009) - PT Jamsostek (Persero) akan terus mengintensifkan sosialisasi kepada perusahaan dan pekerja terkait manfaat kepesertaan dalam program jaminan sosial.
Apalagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja, seluruh pekerja berhak mendapatkan perlindungan jaminan sosial dna harus dipenuhi oleh pengusaha. Dalam hal ini, pemerintah menunjuk PT Jamsostek sebagai penyelenggara yang melaksanakan jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JK), jaminan hari tua (JHT), dan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK). "Hingga saat ini banyak pekerja formal belum menjadi peserta Jamsostek. Padahal, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, semua pekerja wajib menjadi peserta jamsostek untuk perlindungan dari segala risiko akibat pekerjaan,"kata Direktur Operasi dan Pelayanan Jamsostek Ahamad Ansyori di Jakarta, Selasa (23/6).
Sosialisasi yang dilakukan PT Jamsostek, menurut dia, untuk mendorong kesadaran individu pekerja dan perusahaan tentang pentingnya kepesertaan dalam program jaminan sosial.
Meski demikian, upaya sosialisasi yang dilakukan tidak akan mudah karena masalah kepesertaan Jamsostek masih dipandang dari perspektif biaya. Oleh karena itu, sosialisasi akan lebih efektif jika PT Jamsostek dapat menggandeng aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI.
"Biasanya orang kita itu mau menjalankan peraturan jika ada tekanan. Kalau menunggu kesadaran, banyak pekerja yang tidak akan menjadi peserta Jamsostek. Sebab, para pengusaha banyak yang tidak memiliki kesadaran bahwa Jamsostek merupakan hak normatif pekerja yang harus dipenuhi agar terlindungi dari risiko akibat pekerjaan," tuturnya.
Ansyori lantas mencotohkan, kasus puluhan buruh yang menjadi korban dalam musibah kecelakaan kerja di pertambangan batu bara di Ngalau Cigak, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Ternyata para pekerja tambang tersebut belum dilindungi program jaminan sosial yang diselenggarakan PT Jamsotek. Padahal, jauh sebelum musibah itu terjadi, berbagai upaya sosialisasi dan pendekatan sudah dilakukan PT Jamsostek melalui kantor cabang terdekat.
Dalam hal ini, perusahaan pengelola dan pemilik kuasa pertambangan diminta untuk mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek. Apalagi pekerjaan di pertambangan memiliki risiko tinggi terhadap kecelakaan kerja. Seperti diketahui, kuasa pertambangan batu bara dikelola oleh PT Dasrat Sarana Arang Sejati, namun disubkontrak ke CV Perdana. Hingga kini baik PT Dasrat Sarana Arang Sejati maupun CV Perdana belum terdaftar sebagai peserta Jamsostek.
Padahal, dari 13 perusahaan pemilik kuasa pertambangan di daerah ini, kedua perusahaan termasuk dalam daftar perusahaan wajib yang belum daftar (PWBD). Namun, ajakan PT Jamsostek belum direspons secara positif oleh masing-masing perusahaan. Pekerja yang tewas dalam musibah itu dilaporkan sebanyak 31 orang.
Sedangkan korban yang mengalami luka-luka dan menjalani perawatan di rumah sakit sebanyak 14 orang. "Semoga musibah Sa-wahlunto bisa lebih menggugah kesadaran ko-lektif perusahaan untuk memberi perlindungan jaminan sosial bagi pekerja dan keluarganya," ujar Ansyori.
Lebih jauh Ansyori mengatakan, bentuk sosialisasi akan dilakukan melalui berbagai cara dan media, baik dengan kunjungan, pendekatan langsung kepada perusahaan, maupun dialog dengan pekerja serta lainnya.
Dalam hal ini, program-program Jamsostek memberikan perlindungan yang bersifat mendasar, seperti JKK, JK, JHT, dan JPK. "Namun, memang belum ada kesadaran yang tinggi dari pekerja dan pengusaha untuk mengikuti program Jamsostek. Perlindungan yang bersifat mendasar di negara-negara maju sudah datang dari kesadaran di kalangan masyarakat, termasuk pekerja dan pengusaha. Kita sendiri sudah punya seperangkat peraturan dan perundang-undangan. Jadi, hanya tinggal menjelaskan kepada semua pihak bah-wa perlindungan atas risiko kerja ini wajib hukumnya," ucap Ansyori.
Pada kesempatan yang sama dia menuturkan, dalam dua tahun terakhir tidak wajib menyetorkan dividen kepada pemerintah, sehingga hasil pengelolaan dana seluruhnya dikembalikan untuk mening-katkan manfaat kepesertaan. Selain itu, Jamsostek juga mengalokasikan ang-garan untuk program tanggung jawab so-sial perusahaan kepada masyarakat dan keluarga pekerja peserta

80 Persen Pekerja Informal Tidak Punya Jamsostek

(Antara Online, Rabu 17 Juni 2009) - Hasil survei yang dilakukan peneliti dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), menyebutkan sekitar 80 persen pekerja informal Indonesia tidak punya jaminan sosial (jamsos) apapun. "Survei ini menjumpai bahwa sekitar 80 persen dari 2.068 pekerja informal tidak punya jamsos formal dan tidak ada jamsos informal yang terpisah dari keluarga," kata dua peneliti ILO, Theo van der Loop dan Ross Kities Andadari, di Jakarta, Rabu malam.
Jumlah tenaga kerja informal di Indonesia tercatat sekitar 60 juta orang dari total tenaga kerja produktif mencapai sekitar 92 juta jiwa, sedangkan tenaga kerja formal berkisar 30 juta orang. Hal yang signifikan, menurut peneliti ILO bahwa 90 persen dari sampel 2.068 pekerja informal itu menjawab keluarga sewaktu ditanya siapa akan menjaga mereka jika terjadi sesuatu kepada mereka
"Hanya sedikit jawaban lain yang disebutkan para tenaga kerja informal itu seperti musyawarah desa, dan bantuan pengusaha jika terjadi sesuatu dengan mereka," sebut dua peneliti itu.
Peneliti itu menyebutkan walaupun kurang memiliki asuransi yang aktual, namun bukan berarti tidak menunjukkan ketidaktahuan mereka terhadap asuransi, karena hampir 60 persen pekerja informal sudah mengetahui program Jaminan sosial asuransi tenaga kerja (Jamsostek).
Sementara 81 persen responden menyatakan bahwa mereka saat ini tidak punya asuransi formal. Namun setengah dari keseluruhan responden menyatakan bahwa mereka tidak ingin punya asuransi formal di masa mendatang.
"Sebagian besar tenaga kerja informal itu beralasan karena tidak punya pengetahuan tentang asuransi, tidak mampu membayar, terlalu sibuk atau tidak tertarik/tidak butuh asuransi," kata peneliti.
Theo van der Loop dan Roos Kities, menyebutkan jaminan sosial sudah diberi dukungan besar di Indonesia pada tahun 2004 melalui pengesahan UU SJN Nomor 40-2004.
Namun pelaksanaannya saat itu mengalami beberapa kali penundaan, dan baru awal 2009 dibentuknya Dewan SJSN. UU tersebut diharapkan menjadi bagian yang terpadu dari Peraturan Menteri Nomor 24 tahun 2006 tentang pekerja informal sebagai tindak lanjut atas UU Nomor 3/1992 tentang Jamsostek, yang sebagian besar terkait dengan sektor perekonomian formal.
"Cakupannya kini sudah mencapai angka 47 persen dari pekerja di sektor formal (Jamsostek, Taspen, Askes dan Asabri) dan sekitar 105 ribu orang pekerja informal atau 0,2 persen," jelas Theo van der Loop dan Ross Kities Andadari.(*)