Selasa, Mei 05, 2009

Reposisi Gerakan Buruh

(Kompas, Senin 4 Mei 2009) Untuk merespons perubahan sistem ekonomi-politik terkini, serikat buruh perlu menata ulang berbagai aspek gerakan.
Reposisi diperlukan guna memperkuat relevansi gerakan buruh. Ada tiga alasan mengapa serikat buruh (SB) perlu mereposisi.
Pertama, perubahan politik dan demokratisasi. Setelah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat Tahun 1998, buruh bebas membentuk SB, bahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 mengizinkan hanya dengan 10 orang, SB bisa didirikan. Itu sebabnya kini ada 87 SB tingkat nasional dan ratusan di tingkat daerah. Pengalaman internasional gerakan buruh mencatat banyaknya SB cenderung mendorong fragmentasi, konflik horizontal, dan melemahkan perjuangan buruh.
Kedua, terkait dengan perubahan sistem fleksibilitas kerja baru. Liberalisasi outsourcing dan buruh kontrak sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyulitkan pola pengorganisasian SB. Praktik outsourcing dan kerja kontrak membuat buruh menjadi moving target, selalu bergerak dari majikan yang satu ke majikan lain, dengan kondisi kerja berlainan. Situasi ini tak bisa diikuti SB dengan struktur model lama (old fashioned strucuture) yang biasanya mengikuti hierarki birokrasi pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten). Model seperti ini tak cukup fleksibel dalam merespons perubahan pasar kerja.
Ketiga, kian terintegrasinya pasar global dan kuatnya peran korporasi multinasional (MNC's) membuat gerakan buruh domestik harus memiliki jaringan kerja kuat dengan gerakan buruh internasional. Jejaring dengan gerakan buruh internasional menjadi keniscayaan. Aktivis SB diharuskan memahami peta ekonomi global, perjanjian internasional, seperti dalam Global Compact, panduan OECD atas MNC's, kesepakatan internasional antara federasi SB internasional dan MNC?s (IFA), konvensi ILO, kebijakan Uni Eropa atas investasi, dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Pasar kerja telah berubah, gerakan buruh harus lebih canggih daripada masa lalu. Gerakan buruh yang hanya mengandalkan militansi dan mobilisasi massa tidak lagi efektif. Dibutuhkan gerakan buruh yang memiliki kapasitas bernegosiasi, lobi, riset, penguasaan bahasa asing, dan menawarkan alternatif kebijakan.
Reposisi yang diperlukan
Aneka perubahan ini menuntut beberapa penyesuaian. Pertama, penyesuaian di tingkat organisasi. Struktur SB harus mengikuti kecenderungan fleksibilitas pasar kerja. Kantor SB di kawasan buruh, jam kerja disesuaikan shift kerja buruh. Struktur SB nasional harus lebih sederhana sehingga tidak membebani keuangan saat berkongres atau pertemuan nasional. Organisasi buruh perlu lebih fleksibel dan mampu secara finansial.
Kedua, penyesuaian terkait kejelasan ideologi aktivis SB. Banyak aktivis SB yang tidak jernih memosisikan dirinya sebagai pejuang buruh. Ada aktivis SB yang sering pindah dari satu SB ke SB lain sehingga memperluas fragmentasi, menjadi pengurus di partai yang tidak punya program perburuhan, pemilik usaha outsourcing, menjadi kuasa hukum buruh, tetapi mengorbankan buruh. Sementara yel-yel yang diteriakkan melakukan revolusi buruh dan perjuangan kelas.
Struktur masyarakat Indonesia berbeda dengan Eropa. Di sini tidak ada kapitalis borjuasi murni dan proletar murni. Tidak ada kelas buruh sejati karena mayoritas buruh Indonesia bekerja di sektor agrikultur, UKM, serta informal, dan majikan tidak pas dikategorikan kelas borjuasi murni sesuai dengan kategori Marx. Mengorganisasi buruh dengan tujuan akhir menumbangkan kelas kapitalis jelas salah kaprah atau ahistoris. Sejak beberapa tahun lalu, baik di ILO maupun wadah serikat buruh dunia (ITUC) mengembangkan social dialogue sebagai kunci penyelesaian perselisihan perburuhan. Perubahan yang perlu dilakukan adalah membuat sistem lebih adil. Perundingan adalah lebih produktif ketimbang konfrontasi di jalanan. Mogok dan demo tetap perlu sebagai pamungkas, tetapi tidak bisa sebagai indikator mengukur kehebatan SB. Indikator utama terpulang pada apa hasil akhir positif yang diterima buruh.
Kapasitas aktivis
Penyesuaian ketiga terkait kapasitas aktivis. Selama ini banyak aktivis buruh bergelut dalam tataran menuntut hal-hal yang normatif, misalnya yang terkait kenaikan upah, THR, dan pesangon. Aktivis belum begitu paham usulan yang bersifat makro, seperti konsep pengupahan yang lebih adil, sistem jaminan sosial, konsep peningkatan produktivitas, dan penanggulangan pengangguran.
Para aktivis buruh cenderung lebih mengedepankan sikap reaktif daripada solutif dalam merespons kebijakan baru. Gerakan buruh dan aktivis perlu lebih mengelaborasi usulan-usulan alternatif yang masuk akal sehingga memperluas dukungan dari masyarakat. Dengan demikian, gerakan buruh akan relevan bagi buruh dan masyarakat.
Rekson Silaban (Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia)

0 komentar: